top of page

LiteraTur

Nota Kurator

Semasa LiteraTur berlangsung di jalanan, waktu menurut tertib secara kronologi bagi para peserta dan artis, tetapi melalui pameran audio visual ini ia dipersembahkan secara gradual dan serentak. Kita dapat mengikuti perjalanan Poodien dari biliknya di Seputeh dan dalam masa sama kita turut dapat lihat Fasyali di Medan Pasar bersama sukarelawan dan para peserta yang telah berkumpul untuk memulakan performansnya bagi LiteraTur. Perspektif ini membolehkan kita mengalami pengalaman yang berbeza daripada berada di atas jalan tempoh hari. Dan bagi mereka yang tidak menyertai tur tempoh hari, pengalaman yang sama tidak akan dirasai atas faktor separa-Happeningnya. Ia jalinan performans yang hanya boleh dirasai pada momen tersebut dan tidak boleh diulang malah di dalam rakaman audio visualnya sendiri.

 

Di Medan Pasar kita akan lihat 12 orang berkostum aneh (rata-rata dari bahan terbuang) sedang bertindak balas di antara satu sama lain apabila mendengar bunyi-bunyian yang akan dikeluarkan oleh Fasyali. Animal parade ini sedang memberikan nyawa kepada naskah Pemburu Kota oleh T. Alias Taib. Bait-bait sajak dari buku ini dilafaz. Lalu dari Fasyali, kita akan masuk ke performans kedua iaitu Lee Kwang di mana para peserta akan memakai alat pendengar (dari bahan terbuang) yang akan mendistorsi bunyi-bunyi kota. Tidak statik, performans ini memerlukan para peserta berjalan dari Medan Pasar menuju Stesen LRT Pasar Seni. Performans ini adalah reaksi terhadap naskah My Grandmother’s Chicken Curry & .. oleh Charlene Rajendran. Ia tentang uncertainty dan bagaimana ketidakpastian ini masuk menyerap ke dalam diri para peserta yang tidak tahu ke mana arah tuju mereka. Pada momen ini visual Poodien sedang menarik tilam masih berjalan dan kita tahu kelak kita akan bertemu di satu poin.

 

Para peserta menanggalkan alat pendengar dan ada juga yang masih terus memakai hingga ke akhir acara. Kita kini di sekeliling bulatan tanah di hub bas LRT Pasar Seni sedang memasuki performans yang ketiga oleh Paik Yin. Paik Yin memakai kain pelikat akan berjalan mengelilingi bulatan ini sambil menyebarkan risalah tentang Wawasan 2020. Performans ini adalah intepretasi terhadap karya KL di Atas Bantal oleh Faisal Tehrani. Sesuatu yang shocking berlaku dan kegilaan menguasai Paik Yin di dalam parameter bulatan tanahnya. Pada momen ini Poodien akhirnya tiba bersama tilamnya dari Seputeh lalu masuk ke dalam perimeter Paik Yin. Sebuah ruang tidur sedang dibentuk via lilitan benang merah di sekeliling tiga batang pohon, di mana di tengah-tengahnya tilam tadi diletak. Simbolisme tilam ini sendiri adalah reaksi terhadap latar karya KL di Atas Bantal ditulis iaitu mengenai era hujung 90an, di mana Malaysia memasuki fasa-fasa kritikal di mana hal-hal peribadi seperti tilam masuk ke dalam arena politik umum.

 

Paik Yin akhirnya berbaring di atas tilam merehatkan diri dari segala kegilaan tadi, dan performans ini masuk ke adaptasi naskah terakhir iaitu Mat Som oleh Sefa Silent. Sefa mengambil karakter Mat Som sebagai watak mime-nya, dan ini diiringi Poodien yang akan menampal sketsa-sketsa dari novel grafik Mat Som di sepanjang perjalanan kita menuju ke bulatan bawah roundabout, di belakang JKKN. Setibanya di sebuah pentas semulajadi kota, Sefa masuk ke tengah manakala Pyanhabib iaitu watak sebenar yang ada di dalam Mat Som, turut menyertainya dengan membaca tiga buah sajak dari Mat Som. Semangat metafiksyen bercampur nostalgia ini membuatkan ruang negatif ini, yang sekali-sekala diguna pengguna motosikal dan menjadi tempat gelandangan kota bersantai dan tidur, menghidupkan semangat kota Kuala Lumpur era 80an iaitu latar Mat Som ditulis.

 

Lima tetingkap hasil split-screen ini membolehkan kita selaku penonton melihat dari jauh mereka-mereka yang telah terakam secara audio visual ini, dan menjalinkan sekali lagi dari satu performans ke satu performans seolah segalanya berlaku serentak, seakan ada dialog di antaranya meski ia berlaku separa-Happening, penuh improvisasi dan seperti kehidupan di kota Kuala Lumpur sendiri, LiteraTur sebuah perjalanan yang santai.

Curator’s Note

LiteraTur unravelled on the street, times congured chronologically for both, the artist and the spectators but through this audio visual exhibition it has been shown gradually and simultaneously. We were trailing Poodien’s journey from his room at Seputeh and at the same time we observed Fasyali at Medan Pasar together with the volunteers and participants converge to start the performance for LiteraTur. These perspectives allow us to experience dierently with what had happened on the streets before. Those who were not involved with the tour on that day, the experience of semi-Happening would not be felt. The weaves of performances can only be experienced at that particular moment and cannot be captured even on the audio visual of the performance itself.

 

At Medan Pasar, we could see 12 people wearing surreal costumes (with most of them were designed by using recycled materials) interacting with each other through sounds produced by Fasyali. The animal parade gave the text Pemburu Kota by T. Alias Taib a new breath of life. The lines from the poem was recited from time to time. From Fasyali’s performance, gradually we were entering the second performance by Lee Kwang where the participants wore sound installations (from the recycled materials) to distort the sounds of the city. The performance was not static where the participants were moving from Medan Pasar to Pasar Seni LRT Station. This particular performance was in response to the text of My Grandmother’s Chicken Curry & .. by Charlene Rajendran. It revolves around uncertainty and how it immerses into the participants who were wandering and lost in the sound distortions. At this time, the visual of Poodien carrying the queen sized bed is in the running and we would anticipate it at

one point.

 

The participants then pulled o the sound-hearing installations but some were still wearing it till the end of the tour. We are now in the bus hub area at LRT Pasar Seni entering the third performance by Paik Yin. Paik Yin wore kain pelikat and was walking around in circle circulating copies about Wawasan 2020. This performance is the interpretation of the text by KL di Atas Bantal by Faisal Tehrani. Something shocking and barbaric engulfed Paik Yin’s within the circle parameter. At this moment, Poodien arrived carrying his bed from Seputeh and transgressed into Paik Yin’s parameter. An intimate space of sleeping has been formed through the swathe of red thread around the three dierent trees where the bed has been set up. The bed symbolise as a reaction towards the KL di Atas Bantal text where it has been written at the end of the 90’s in which Malaysia entered her critical phases entailing the private matters that have encroached the civic political arena.

 

Finally, Paik Yin laid down resting herself from all the lunacy where the performance tour entered its nal adaptation by Sefa Silent of Mat Som text. Sefa was in his mime-character as Mat Som and he was being followed by Poodien in pasting up the sketches from the graphic novel of Mat Som along the way towards the circle underneath the roundabout behind JKKN. The space is a natural city-stage. Sefa was in the middle of the stage while, Pyanhabib as the real character exist in Mat Som, were joining him in reciting three dierent poems from the novel. The nostalgic and metafiction spirits turned the negative-space, rarely been used by the motorist but always by the city homeless to leisure and sleep, liven up the spirit of Kuala Lumpur city during the 80’s as the background when Mat Som was written.

 

The five split-screen windows enable us as the spectators to look from afar those who were recorded through audio-visual means and weaving from one performance to another as they all happened simultaneously, analogously creating dialogues between them although it happened semi-Happening, full of improvisations, just like the lives in Kuala Lumpur itself, LiteraTur was a journey full of freedom.

Bio dan Kenyataan Artis

Fasyali Fadzly

Fasyali Fadzly merupakan seorang pengarah serta pengamal teater. Beliau mengarah serta menulis beberapa skrip pementasan di Malaysia dari Berani Mati(2010), Kotak Hitam (2011), Teater Juta-Juta (2011) and Kawan-kawan Yang kita Suka (2012). Merupakan seorang lepasan dari University of Calgary dengan fokus teater. Fasyali kini berkhidmat di Akademi Seni Budaya dan Warisan Kebangsaan (ASWARA), Malaysia. Laman webnya boleh diakses di www.fasyalifadzly.com.

Fasyali Fadzly is a theatre director and practitioner. He self-directs and writes play various theater play in Malaysia ranging from Berani Mati(2010), Kotak Hitam (2011),Teater Juta-Juta (2011) and Kawan-kawan Yang kita Suka (2012). He is a graduate from the University of Calgary majoring in theatre and now plying his trades in Akademi Seni dan Warisan Kebangsaan (ASWARA), Malaysia. His website is can be accessed at www.fasyalifadzly.com.

KENYATAAN

Dari kertas ke pentas. Dari diksi ke aksi.

Apa yang saya lihat bila mendalami dan menekuni puisi-puisi T. Alias Taib dalam Pemburu Kota? Apa yang saya dengar? Apa yang menarik perhatian saya? Pengalaman bikin teater membuatkan saya mencari drama di dalam puisi-puisi T. Alias Taib. Dengan puisi-puisinya yang pendek, dramanya tidak sempat bernafas dalam perenggan yang pendek namun hidup dalam watak-watak yang beliau unjurkan. Watak-watak ini melatari di dalam banyak puisinya. Kekacauan watak yang hidup di ruang puisi singkat dan ruang kota yang sempit membuatkan kehidupan mereka saya lihat sebagai sesuatu yang aneh dan surreal. Daripada Kuala Terengganu ke Kuala Lumpur, watak-watak dalam Pemburu Kota berhijrah menunggang bait-bait puisi dan mencari habitat baru yang kacau. Perarakan kostum inspirasi daripada puisi Kakilima Kota (Sebuah Sketsa). Dengan banyak watak yang dijelmakan di dalam puisi ini, saya mula menghimpunkan watak-watak ini yang muncul di serata Pemburu Kota untuk perarakan ini. Acara teaterikal di ruang terpilih iaitu Medan Pasar adalah ruang yang dianggap tepat untuk melihat bagaimana watak-watak ini berlegar di tengah kota meraikan keanehan.

STATEMENT

From paper to stage. From the diction to action.

What do I look for when reading the poems by T. Alias Taib in his anthology of “Pemburu Kota”? What do I hear? What grasps my attention? My experience in theatre making thus sparked me to search the drama elements in T. Alias Taib’s poems. With its short prose, the intense drama did not actually have the time to expand yet its characters projection are full of life. The characters are the foundation in his poem settings. The lively yet chaotic characters in his space of short poems with the cramped cityscapes making their lives seems surreal and weird. From Kuala Terengganu to Kuala Lumpur, the characters in Pemburu Kota migrates by riding on the prose searching for new tumultuous habitats. The theatrical parade was been inspired by the poem entitled Kakilima Kota (Sebuah Sketsa). With many characters manifests through the poem, I am looking at the prospect of assembling all the characters for the theatrical parade. The parade which will be presented at Medan Pasar will unleash the characters in celebrating their moment of surreal.

Goh Lee Kwang

Goh Lee Kwang merupakan seorang artis prolifik dalam rencam perkara. Seorang komposer dan artis bunyian. Beliau turut menguruskan sebuah label – Herbal Records. Laman Bandcamp-nya mempunyai hampir 400 rilisan. Turut terlibat dalam menjayakan Switch On Mini Festival, di mana festival ini mengumpul artis tempatan dan antarabangsa sekitar Kuala Lumpur. Goh Lee Kwang menyataka bahawa medium Bunyi sebagai seni bergantung kepada tindakbalas pendengar terhadap kewujudannya. Tanpa penerimaan dan respon dari seorang pendengar, bunyi tidak akan wujud sekaligus tidak mengambil sebarang ruang. Apa yang menarik untuk diperhatikan tentang Lee Kwang sebagai seorang artis adalah diri serta karyanya yang mengundang kita untuk terlibat dalam sebuah perhubungan. Seorang pendengar mungkin dapat merasai sebuah dunia baru, tekstur bunyi yang pelik di mana mungkin mereka akan terjebak ke dalam sebuah pengalaman baru dan langka. Oleh Melissa Lin.

Goh Lee Kwang is a prolific artist who wears many hats. He is a sound artist and composer. He also runs the the label Herbal Records. His own Bandcamp page features a staggering 400 releases. He also organizes the Switch On Mini Festival, which brings together local and international sound artists in the hub of Kuala Lumpur. Goh Lee Kwang states that the medium of Sound as art relies upon the response created in the listener for its existence. Without the receptivity and response from a listener, the sound ceases to exist, does not take up any space. What I have observed and enjoyed most about Lee Kwang as an artist is the invitation by himself and his artwork to participate in a relationship. The dedicated listener may perceive new worlds, strange sound textures and maybe even find within themselves new and unusual experiences. By Melissa Lin

TITLE of the sound work: FINDING 

STATEMENT 

Upon reading and trying to capture 'something' out of the play "MY GRANDMOTHER'S CHICKEN CURRY & .. "by Charlene Rajendran, I came to to find the 'uncertainty' is the general emotion of the play. Which I think they are still haven't found what they looking for, therefore I title my piece "Finding". My interpretation of the play is to convert / transform it to a sound / audio & performance based work. My personal interest of public performance is always getting the public involved instead of drawing a clean line between the performer and the audience. I also changing the usual perspective of sound / music, which is trying to feed something to the audience to listen, this piece, however, I prefer to think how the audience should listen, by adding additional elements to interlude the audiences hearing.

KENYATAAN

Apabila membaca dan cuba menangkap “sesuatu” dari skrip “"MY GRANDMOTHER'S CHICKEN CURRY & ..” oleh Charlene Rajendran, antara yang dijumpai oleh saya adalah “ketidakpastian” di mana ianya merupakan emosi utama dramanya. Saya merasakan bahawa ianya masih tidak dapat dijumpai oleh wataknya sekaligus di mana “Finding” merupakan tajuk instalasi saya. Interpretasi drama ini akan digubah / ditukar menjadi bunyi / audio dan karya berasaskan persembahan. Dengan minat peribadi dalam persembahan awam, saya gemar mendapatkan orang ramai untuk terlibat secara langsung sekaligus menolak garisan antara artis dan penonton. Saya juga untuk mengubah perspektif biasa bunyi / muzik, di mana ianya hanya sebuah percubaan untuk menyumbat khalayak hanya untuk mendengar, namun melalui karya ini, saya suka untuk memikirkan bagaimana khalayak sepatutnya mendengar, dengan penambahan elemen tambahan sebagai selingan dalam pendengaran para hadirin.

Lim Paik Yin

Artis asal Kuala Lumpur, Paik Yin berkarya melalui medium fotografi, seni persembahan dan spoken words. Paik Yin juga pernah bekerja sebagai penyelidik fotografi dan bergiat aktif dalam menggarap esei foto semenjak tahun 2011. Tunjang utama karyanya adalah berkaitan persoalan identiti peribadi dan ruang yang sekaligus membuka ruang praktisnya dalam seni persembahan. Lepasan Sarjana bidang Inovasi Media dan Pengurusan ini turut terlibat dalam bidang seni melalui bengkel yang diselia oleh pelbagai kolektif, galeri serta badan kebudayaan di Malaysia.

Kuala Lumpur based artist, Lim Paik Yin works revolves around the mediums of photography, spoken words and performance arts. Paik Yin has worked as a photo researcher and actively engage with photo essays from the year 2011. Her bodies of work question the idea of personal identity and space which now evolved into her practice of performance art. Graduated with a Bachelor in Media Innovation and Management, her involvement in the art scene focuses on workshops organized by collectives, galleries and cultural institutions based in Malaysia.

STATEMENT

‘KL you are surreal.

I miss your backalleys,

fill to the brim

with laughter and chatter,

our dreams converges,

hopes and livelihood

disappear and reappear.

My Love it has been 10 years since we last met.

We cannot stop the inflow of the outside

How are you?

Do you still remember the times

of laughter, playfulness and silliness?

A beauty of the Yin principle

mayhaps we remember

of trails left behind

in the course of time

to the ocean of possibilities.

Amidst,

Lets extend and acknowledge

That past hurts

can still be picked up and brushed.’

As wawasan 2020 is drawing closer, in response to Faisal Tehrani’s text KL Di

Atas Bantal (2000) this site specific performance piece seeks a response from the

passerbys, visiting or working, temporal or perpetual,to the feminine.

What is our vision for this place we call home and the demons we attempt to

exorcise leading to 2020.

KENYATAAN

Dengan Wawasan 2020 yang kian hampir, dalam merespon terhadap teks cerpen KL Di Atas Bantal (2000) oleh Faisal Tehrani, melalui persembahan berasaskan ruang spesifik ini, artis akan bertindak balas dengan warga yang lalu-lalang, yang bermaustatin mahupun bekerja, sementara ataupun berkekalan tentang soal feminin dalam menanggapi wawasan sesebuah ruang yang dipanggil rumah serta syaitan yang digeluti oleh kita dalam menuju Wawasan 2020.

Sefa

Sebagai seorang artis “outsider”, beliau ada merata-rata. Mempelajari ilmunya dari mentor ketika tahun-tahun pengajian siswanya di Universiti Teknologi Petronas sekitar tahun 2007, beliau turut mengembangkan minatnya dengan mendalami sendiri “Corporeal Mime” yang digagaskan oleh Etienne Decroux pada awalnya. Marco Lucy (Italy) serta Hilary Chaplain (New York) merupakan gurunya dalam teater fizikal dan komedi. Seorang ahli Projek Rabak, sebuah kolektif seni dari Ipoh serta The Qum Actors, sebuah grup teater. Karyanya merangkumi gerakan fizikal badan dengan eksperimentasi spontan, refleksi elektrikal dalam persembahannya. Selain dari melakukan persembahan, Sefa turut berkongsi ilmu mime-nya melalui bengkel di seluruh Malaysia.

As an outsider artist, he is everywhere. Gained his knowledge from his mentor during his undergraduate years in Universiti Teknologi Petronas circa 2007, he expands his interest with in depth self-study on Corporeal Mime founded by Etienne Decroux in later years. Marco Luly (Italy) and Hilary Chaplain (New York) were among his teachers in physical theatre and comedy.He’s a proud member of Projek Rabak, an art collective from Ipoh and The Qum Actors, a theatre group. Currently residing in Kuala Lumpur to look for more silent stories in the heart of Kuala Lumpur. His work encompasses physical movement of the body with experimentation on spontaneous, electric reflects in a performance. Aside from performance, he also share his knowledge on mime through workshops all over Malaysia.

Poodien

Poodien berkarya dengan pelbagai subjek, medium dan bentuk, dari catan ke lukisan, grafik digital, instalasi, “happening” partisipatori serta persembahan. Secara metodologinya, beliau melintas di antara aksi langsung, eksperimen sosial, kerja kolektif dan penciptaan individu dengan fokus kepada konfrontasi dan daya dalam individu dan masyarakat. Seperti yang dinyatakan oleh artis, isu tentang “kebebasan individu dan permasalahan lapuk, dogmatik, statik dalam soal kebenaran asasi” memberi kesan kepadanya. Dengan mengolah pengaruh dari pelbagai praktis seni dari sekolah pemikiran serta dari “kehidupan harian”.Poodien mengenal pasti, mengguna pakai dan mencuba karya eksperimental “open-ended”-nya menanggapi respons dari khalayak serta realiti konteks sosialnya.

Poodien's work deals with various subjects, medium and form, including painting and drawing, digital graphics, installation, participatory happening and performance. Methodologically, he crosses over between direct action, social experiment, collective work and individual creation, focusing on confrontation and force in the individual and in society. As he puts it, he is particularly concerned with issues of "individual freedom and the problem of obsolete, unchanging, dogmatic, foundational truth". Deriving his influence from various art practises and school of thought as well as 'ordinary everyday life', Poodien identifies, applies and tests his open-ended experimental works against the responses of the public and the realities of his social context.

Please reload

bottom of page